Jalan Sex
– Hallo kaum Sange dan kaum Lendir Situs Cerita sex menyajikan informasi
pornografi berupa cerita dewasa, cerita sex panas, tante girang, cerita
sedarah, cerita panas. cerita bokep terupdate teraktual
Sekarang kita bahas cerita tentang
Cerita Sex Lubang Kontrakan.
Pasangan Larsih dan Tono serta para
tetangganya itu tinggal di deretan petak-petak rumah kontrakan di
bilangan kota Bekasi. Ada sekitar 3 atau 4 rumah petak lain yang sejenis
juga tersebar di sekitar rumah yang ditempati Larsih dan Tono itu.
Antara petak satu dengan lainnya hanya
dibatasi oleh dinding tipis yang terbuat dari tripleks. Dinding itu
telah banyak mengelupas di sana-sini. Pada beberapa bagiannya bahkan
juga ada lubang-lubang sehingga bukannya tidak mungkin tetangga yang
satu mengintip tetangga lainnya.
Adapun tetangga samping kirinya, Mas
Diran dan istrinya Murni, adalah juga orang-orang yang sibuk. Mas Diran
bekerja sebagai Satpam di kompleks pergudangan Bekasi. Dia bekerja
bergilir, seminggu tugas malam, dari pukul 6 malam hingga pulangnya
pukul 6 pagi, kemudian seminggu berikutnya tugas siang dari pukul 6 pagi
hingga pulangnya pukul 6 malam. Istrinya, Murni bekerja sebagai perawat
di rumah sakit bersalin di bilangan kecamatan tidak jauh dari rumahnya.
Baca Juga > Cerita Sex Nikmatnya ML Diberikan Oleh Mantan Muridku
Jadi pada waktu-waktu tertentu di siang
hari rumah Mas Diran dan Murni kosong selama satu minggu karena Mas
Diran kebetulan kena giliran jaga di siang hari. Dan pada minggu lainnya
sesekali Larsih melihat Mas Diran yang sedang santai di rumahnya karena
kebagian gilir jaga di malam harinya.
Begitulah kehidupan per-tetangga-an mereka selama berbulan-bulan hingga.. Terjadilah peristiwa dan cerita ini..
Peristiwa dan cerita yang penuh nafsu
syahwat birahi, yang akan merubah suasana dan situasi kehidupan mereka
yang tinggal di deretan rumah kontrakan sederhana itu. O, ya.. Aku lupa.
Perlu aku jelaskan bahwa untuk keperluan mandi, mencuci dan kakus pada
mereka tersedia tempat dan fasilitasnya untuk digunakan bersama. Secara
bergantian tentunya. Dan di situlah terjadi saling ketemu, saling tegur
dan saling pandang antar tetangga satu sama lainnya.
Dan dari sini pulalah awal dari segala peristiwa dan cerita ini..
Larsih adalah perempuan yang suka sibuk.
Dia tidak mau diam. Selalu ada yang dia kerjakan. Disamping setiap hari
dia membersihkan dan merapikan rumahnya yang kecil itu Larsih juga
senang memasak dan mencuci pakaiannya atau pakaian suaminya. Hampir
banyak waktunya dia habiskan di dapur dan tempat mandi dan cuci.
Dan tentu saja tetangganya, dalam hal
ini Mas Diran justru sering melihat dan berjumpa Larsih di tempat ini.
Pada saat dia kena gilir jaga malam se-siang hari Mas Diran yang
sendirian karena istrinya lagi kerja banyak keluar masuk di tempat mandi
dan cuci ini. Karena seringnya bertemu berdua saja, mau tidak mau
seringlah terjadi saling tegur sapa antara Larsih dan Mas Diran. Tidak
bisa dipungkiri bahwa Larsih yang baru 26 tahun itu memiliki daya tarik
seksual yang lumayan. Ibarat kembang Larsih ini sedang mekar-mekarnya
dan ranum.
Diam-diam selama ini Mas Diran memang
selalu memperhatikan sosok Larsih. Dia cukup ‘kesengsem’ dengan istri
tetangganya itu. Dan dari waktu ke waktu Mas Diran sering dan semakin
merasa sepi saat tidak bisa menyaksikan Larsih berada di tempat mandi
dan cuci. Dia jadi gelisah. Mondar-mandir atau mengintip ke belakang di
tempat mandi cuci itu. Tak dipungkiri bahwa Mas Diran suka membayangkan
betapa nikmatnya kalau bisa berasyik masyuk dengan Larsih.
Mas Diran tidak bisa mengelakkan
penisnya yang selalu ngaceng saat membayangkan pesona Larsih yang istri
tetangganya itu. Akan halnya Larsih sendiri, dia menyadari dan tahu
bahwa dirinya termasuk seorang perempuan yang memilik pesona seksual.
Banyak lelaki dan khususnya Mas Diran yang tetangganya itu sering
kepergok saat memperhatikan tubuh indahnya.
Larsih tahu Mas Diran suka memperhatikan
celah di antara buah dadanya. Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan
pantatnya yang seksi saat dia nungging menyapu lantai tempat mencuci.
Dia juga tahu bagaimana mata Mas Diran berusaha menembusi celah roknya
saat dia jongkok di tempat cucian. Dia juga tahu dan merasakan betapa
Mas Diran pengin melihat bagian-bagian tubuhnya yang sangat rahasia.
Dan Larsih sangat menikmati bagaimana
Mas Diran memuaskan matanya untuk menikmati pesona tubuhnya. Dia sangat
senang saat melihat mata Mas Diran yang melotot seakan hendak
menelanjangi dan melahap tubuhnya. Dan Larsih akan kesepian dan gelisah
pada saat tak ada Mas Diran. Pada saat Mas Diran kena giliran jaga siang
hari, hati Larsih menjadi kosong dan merasa sendirian.
Larsih menjadi malas berbuat apapun.
Malas masak, malas nyuci, malas mandi dan malas lain-lainnya. Dia merasa
kehilangan pengagumnya. Dan dia juga seakan kehilangan semangat
hidupnya.
Begitulah hingga pada suatu pagi..
Lokasi di rumah kontrakan pagi ini nampak sunyi. Murni sudah berangkat
kerja. Tono sudah berangkat kerja pula. Kebetulan Mak Sani juga sedang
pergi nginap di tempat anaknya di Serang. Nampak Larsih dengan cuciannya
yang menggunung, karena baru saat ini pengin nyuci sesudah 4 hari
bermalas-malasan. Dia nampak sibuk dengan memilah-milah dan menggilas
pakaian-pakaiannya. Pagi ini dia menunjukkan semangatnya kembali. Dia
tahu mulai hari ini Mas Diran untuk selama satu minggu ke depan akan
selalu berada di rumah pada siang hari. Dia kena tugas jaga di malam
hari selama seminggu.
Sesudah satu minggu menunggu dalam sepi,
hari ini Larsih sudah bertekad akan banyak nyuci atau masak yang
membuatnya bisa mondar-mandir di tempat mandi dan cuci ini. Dia sudah
rindu akan mata hausnya Mas Diran yang seakan menelanjangi dan hendak
menelan tubuhnya itu. Dia sudah rindu akan pandangan penuh birahi Mas
Diran yang bisa membakar semangat kerjanya pula. Dia merasakan betapa
dari setiap pandangan mata Mas Diran pada bagian-bagian tubuhnya membuat
dirinya sangat bangga dan tersanjung.
Pagi ini Larsih lebih dari sekedar
nyuci. Pagi ini Larsih sengaja berdandan khusus untuk Mas Diran. Dia
memakai baju atas yang memperlihatkan belahan dadanya lebih membelah,
disamping lebih menunjukkan keindahan bahu dan ketiaknya. Baju atasnya
itu hanyalah sepotong kain yang membungkus sebagian kecil dadanya dengan
tali kecil yang nyangkut ke bahunya. Dengan baju macam itu Mas Diran
akan lebih bisa menikmati keindahan tubuhnya dan belahan dadanya.
Larsih juga mengenakan rok yang sangat
pendek. Dia ingin menunjukkan betisnya yang ranum bak padi bunting serta
membuat lebih banyak menampakkan bagian dengkul hingga naik ke sedikit
pahanya. Pada saat jongkok, bukan tidak mungkin Mas Diran juga
berkesempatan melihat secercah celana dalamnya. Jantung Larsih berdesir
saat mengkhayalkan bagaimana nanti Mas Diran terpukau pada saat
menyaksikan bagian-bagian tubuhnya yang sensual dan sangat rahasia ini.
Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Larsih
sudah tak sabar menanti kehadiran Mas Diran. Mas Diran memang biasa
bangun siang sesudah tugasnya yang hingga pagi hari itu. Biasanya dia
baru keluar untuk mandi sekitar pukul 10 pagi.
Tetapi untuk pagi ini, mungkinkah dia keluar lebih awal..?
Hati Larsih melonjak girang sekaligus
deg-degan saat mendengar gerendel pintu rumah Mas Diran dibuka. Dengan
hanya bercelana kolor dan kalung handuk Mas Diran keluar dari rumahnya.
“Pagi, Dik Larsih. Sudah rajin nih, ya. Bagaimana kabarnya. Dik Larsih dan Mas Tono sehat?”, sapa ramah Mas Diran.
“Pagi Mas Diran. Baik. Baru bangun ya?!”, sambil menebar senyuman dan matanya menatap tubuh Mas Diran.
“Iya, nih. Semalam benar-benar begadang
karena ada satu teman yang absen. Saya mesti menggantikannya. Ss.. Saya
kk.. Kehilangan giliran tidurnya, dd.. D.. Dik”, kali ini jawabannya
agak tersendat. Mas Diran menyaksikan betapa Larsih nampak sangat
membangkitkan birahinya dengan pakaiannya yang banyak terbuka itu.
Sepertinya Larsih langsung tahu. Dia
gembira hatinya karena tujuannya tercapai. Kemudian sambil pura-pura
membetulkan ikatan rambutnya, Larsih mengangkat tangannya hingga
ketiaknya yang mulus dan indah itu nampak terbuka lebar. Bak seorang
penari yang sekaligus koreografer, dia juga menggerakkan bagian-bagian
tubuh lainnya dengan harapan Mas Diran bisa menikmati keindahan leher
lehernya, belahan dadanya dan juga bibir sensualnya.
Dia menyahut omongan Mas Diran dengan sedikit melempar umpan,
“Yaa.., khan ada Mbak Murni, Mas.
Tentunya khan ada dong.. Sambutan di pagi hari.. “, sambil sedikit
melepas senyuman dan lirikan matanya yang menggoda. Seperti gayung
bersambut, Mas Diran merespon dengan penuh pemahaman dan dorongan
untuk’jemput bola’. Dengan gaya ‘lelaki yang penuh derita’ dia menjawab,
“Ah.., nggak koq, dik. Setiap pagi saya
datang, setiap pagi itu pula Murni siap berangkat. Jadinya yaa.. Selalu
selisihan, begitu”.
“Dik Larsih, kemarin Mas Tono bawa koran
Kompas, khan? Aku pinjam dong. Aku pengin baca berita , nih,” terdengar
suara Mas Diran dari balik dinding rumahnya yang penuh bolong itu.
“Ada, Mas. Aku antar ke depan rumah ya,” jawab Larsih.
“Nggak usah. Lewat sini saja dik. Dari arah bangku Dik Larsih ini khan
ada bolongan. Cukup untuk nyeploskan koran. Gulung saja dulu, dik,” usul
Mas Diran yang sangat unik, menggunakan bolongan dinding mereka untuk
mengirimkan koran Kompasnya.
Dan sejak itu banyak dan beragamlah
pemanfaatan lubang dinding dekat bangku Larsih itu. Dari kiriman sambel
kecap untuk makan siang, pisang goreng, pinjam ballpen, pinjam buku dan
sebagainya. Lubang yang letaknya kira-kira sepinggang di atas lantai itu
terjadi karena triplek dinding yang telah keropos.
Semula sudah ditutup koran-koran yang
ditempel dengan lem sagu. Tetapi ya, mudah lepas. Dilem lagi,
lepas-lepas lagi. Dan akhirnya setengah dibiarkan. Lubang itu tidak
tepat berbentuk bulatan. Dari atas turun memanjang hingga sekitar 12 cm
dengan lebarnya yang 3 cm. Tetapi kalau diperlukan, lubang itu bisa
direnggangkan sedikit sehingga bisa untuk nyeploskan botol kecap yang
besar itu atau lainnya.
Pada saat lain lubang itu kembali
menyempit sehingga tidak menarik perhatian siapapun termasuk Tono suami
Larsih maupun Murni istri Mas Diran. Dengan lubang macam itulah akal
bulus para dewa cinta bisa memanggil-manggil birahi dan syahwat manusia
kapan saja. Dengan adanya lubang pada dinding itu komunikasi erotis
antara Mas Diran dan Larsih berkembang dengan sangat pesat.
Dari waktu ke waktu panah dewa cinta dengan pasti menembus dan membutakan mata dan hati mereka.
Kata-kata yang saling ejek dan goda dengan seling tawa saling
dilontarkan antara Larsih dan Mas Diran melewati dinding rumah mereka.
Dan ucapan-ucapan mereka dengan cepat berkembang semakin bebas, semakin
panas serta semakin vulgar. Kini nampak keduanya sedang ber-asyik masyuk
dengan saling berbisik antar dinding.
Larsih secara khusus menarik bangku
plastik untuk kemudian duduk mendekat ke dinding dan lubang itu. Demikan
pula Mas Diran. Dia menarik kursi makannya untuk mendekati dinding
dengan lubangnya itu pula.
“Gede donk, punya Mas Tono?,” bisik Mas Diran melontarkan godaan ‘hot’-nya.
“Ah, jangan mengejek lho. Dosa tuh. Memangnya seperti punya Mas Diran,
bisa buat pentungan kalau lagi jaga malam?,” balas Larsih disertai
tawanya yang menderai tertahan.
“Ya, tapinya banyak loh yang pengin kena pentunganku,” ganti Mas Diran yang ketawa.
“Ya, sudah. Sana cari yang suka pentungan Mas Diran!,” ketus Larsih bernadakan cemburu.
“Eh, eh, eh.. Jangan marah.., ayolah say..,” buru-buru Mas Diran membujuk Larsih.
Justru cemburu Larsih kian membara. Dia
menganggap Mas Diran juga mengobral goda pada perempuan lain. Dia merasa
seakan Mas Diran punya perempuan simpanan. Mukanya cemberut. Dia tidak
menjawab bisikkan Mas Diran.
Sesudah beberapa kali berusaha memancing
omongan Larsih, bisikkan Mas Diran tetap tak mendapatkan respon, Sekali
lagi dewa cinta perlu ikut campur.
“Ya, sudaahh.., aku mau tidur sajaa..,”
“Eeii.. Tunggu. Kembalikan dulu koranku. N’tar dicari yang punya,”
Kemudian Larsih menuju lubang di dinding, “Mana?,” permintaan ketusnya.
“Nih, ambil sendiri?,” jawab Mas Diran dari balik dinding sambil menunjukkan koran di tangannya..
“Ceploskan saja!,”
“Nggak, ah, nanti robek. N’tar aku dimarahin Mas Tono, lagi!,”
Cemburunya yang masih membakar akhirnya
kalah. Larsih takut nanti suaminya mencari korannya. Dan apa katanya
kalau ternyata koran itu ada di tempat Mas Diran. Akhirnya dia
mengasongkan tangan kanannya masuk ke lubang itu untuk mengambil
korannya.
Melihat tangan yang indah dan lembut itu
Mas Diran tak mampu menahan pesonanya. Saat itulah Mas Diran kontan
meraih tangan Larsih. Larsih kaget dan serta merta berusaha menarik
tangannya. Tetapi mana kuat melepaskan diri dari pegangan kokoh Mas
Diran. Sambil meronta-rontakan tangannya dia berteriak-teriak dalam
bisikkan,
“Lepaskan. Lepaskan. Aduh.. Lepaskaann..!,”
Tetapi Mas Diran justru lebih menggoda.
Dengan memegang pada tangan kanannya, tangan kirinya mengelusi jari-jari
Larsih. Elusan yang cepat berkembang menjadi urutan-urutan. Dan rontaan
tangan Larsih itu pelan-pelan mereda. Cemburu Larsih padam. Dia
menikmati elusan tangan Mas Diran. Sesaat hening. Yang terdengar
nafas-nafas dua insan yang terpisah oleh dinding tripleks.
Tiba-tiba Larsih disergap perasaan
merinding. Dia seakan jatuh dari ketinggian tetapi tak pernah menyentuh
tanah. Dia merasakan ke-lengang-an yang nikmat pada saat jatuh itu.
Ketinggian itu seakan tanpa batas. Elusan tangan Mas Diran pada
tangannya telah menyentuh sanubari dan membangkitkan nikmat. Larsih
seperti terlempar dan jatuh melayang ke awang-awang.
Akan halnya Mas Diran. Sebenarnya dia
tidak sengaja dan merencanakan hadirnya tangan Larsih itu. Tetapi ketika
dia menyaksikan tangan lembut nyeplos dari lubang dindingnya,
refleksnyalah yang meraih tangan itu. Yaa, macam inilah hasil kerjanya
dewa cinta..
Dan saat tangan lembut itu meronta, dia
tak ingin melepaskannya lagi. Dia sungguh mengagumi kelembutan tangan
itu. Itu bukan macam tangan Murni yang kasar. Dia langsung terdorong
untuk mengelusi kelembutan tangan Larsih itu. Duh, punggung tangan
inii.., betapa indahnya.. Duh, jari-jari inii.., betapa lentiikk..
Dan tiba-tiba hadir sebuah dorongan yang
sangat kuat. Mas Diran mendekatkan tangan Larsih itu ke mukanya. Dia
menciumi tangan itu. Dan kemudian lebih jauh lagi dengan menjilat dan
mencaplok. Mas Diran mulai mengulum jari-jari Larsih yang lentik itu.
Siirr.. Jantung Larsih terasa berdesir. Larsih seperti tersengat listrik
ribuan watt saat ujung-ujung jarinya merasakan adanya sentuhan lunak
kehangatan.
Dia memastikan Mas Diran sedang mencium
dan memasukkan jari-jari tangannya kemulutnya. Sengatan listrik itu
merambati seluruh bagian tubuhnya. Larsih merasakan seakan hendak
pingsan. Dia cepat berpegang pada dinding dan tanpa sadar dia merintih,
“Dduuhh.. Mas Diraann.., j.. Jj.. Jangaann.. ,” tangannya kembali meronta kecil.
“Mmaass.., Mass.., Maass.. Jangaann.. Ampun Maass.. ,” ucapan yang penuh paradoks dari bibir mungil Larsih.
Kata ‘.. Jangaann.. ‘ itu semakin jauh
dari makna sejatinya. Kata itu justru untuk mengukuhkan kuluman Mas
Diran pada tangan dan jari jemarinya. Larsih semakin memperkeras pijitan
pada pentil-pentilnya.
Mas Diran semakin terbakar mambara.
Nafsunya yang tidak banyak tersalurkan pada istrinya kini pengin
ditumpahkan pada Larsih. Dan nampaknya Larsih telah menyerah dalam
kendali Mas Diran. Dia tengah tenggelam dalam birahi syahwatnya.
Pelan-pelan dia kendorkan pegangannya
pada tangan Larsih. Dia pengin tahu, apakah Larsih akan langsung menarik
tangannya ke balik dindingnya. Ternyata tidak.
Justru kupingnya menangkap desah lirih
dari mulut Larsih yang mengesankan betapa haus perempuan yang istri
tetangganya itu untuk dipuaskan syahwatnya. Justru jari-jari Larsih kini
meruyak-ruyak dalam mulutnya. Sesaat Mas Diran tetap mengkulum dan
menggerakkan lidahnya pada jari-jari indah itu sebelum akhirnya menarik
lepas tangan itu dari mulutnya dan meraih tangan itu untuk mengembalikan
ke balik dindingnya.
Larsih mengikuti apa yang menjadi
kehendak Mas Diran. Tangan Mas Diran terus menggamit tangannya untuk
dikembalikan nyeplos melalui lubang dinding itu. Tetapi ternyata tangan
Mas Diran terus ikut nyeplos. Lubang itu melebar ditembusi oleh
tangannya yang kekar. Tangan penuh otot yang coklat kehitaman, yang
nampak banyak didera oleh kehidupan yang kasar dan keras itu kini berada
di depannya.
Larsih berdesir terpana melihat tangan Mas Diran itu. Mau apa dia?
Tangan itu bergerak menggapai-gapai.
Larsih memastikan Mas Diran ingin meraih dirinya. Dia memang tak akan
bergerak dari tempat duduk bangku plastiknya. Dan tangan itu berhasil
menyentuh pahanya yang hanya memakai rok pendek. Nampak dengan
jari-jarinya yang kasar tangan itu merabai dan mengelusi pahanya.
Elusan-elusan yang sering juga diseling
sedikit cakaran dari tangan Mas Diran mengaduk-aduk nuraninya dan
membuahkan erang dan rintih nikmat yang penuh iba.
“Oohh.. Mmaass Diraann..,” sambil tangannya seakan mau menahan gerak dan laju tangan Mas Diran.
“Maass.. Mass..”.
Sementara itu tangan Mas Diran itu mulai
menggeser sentuhannya menuju ke arah pangkal pahanya. Larsih membiarkan
tangan itu bergerak kemana maunya. Dia seperti sedang melayang.
Tangan Mas Diran kini merabai bagian
tubuh Larsih yang paling peka. Tangan Mas Diran mengelus-elus pangkal
paha dan selangkangan Larsih itu. Tangan dan jari-jari Mas Diran meremas
celana dalamnya untuk menggelitiki vagina Larsih. Larsih menggelinjang
dengan hebat. Nafasnya tersengal. Tangan-tangannya mencari apapun untuk
bisa dia pegang. Mulutnya merasa sangat haus.
Tangannya akhirnya memegang meremasi
tangan Mas Diran. Larsih merintih dengan diikuti tubuhnya
menggoyang-goyang maju mundur hendak menjemput rabaan tangan Mas Diran
itu. Begitulah perempuan. Dia menikmati antara ‘ya’ dan ‘jangan’, untuk
membiarkan semuanya berjalan tanpa kendalinya.
Jari-jari itu meretas tepian celana
dalam. Jari-jari itu menyentuhi bibir vaginanya. Jari-jari itu berusaha
merogoh vaginanya. Tangan Larsih mencekalnya lebih erat. Bukan untuk
menghambatnya.
Tangan Larsih mencekal untuk mengkokohkan posisi tangan Mas Diran.
Larsih ingin jari-jari Mas Diran mengorek-orek lebih jauh kemaluannya.
Larsih sangat merasakan kegatalan pada vaginanya.
Vagina Larsih telah basah oleh cairan
birahinya. Larsih minta jari Mas Diran mengoboki lebih dalam lagi.
Tetapi tangan itu tak akan berhenti di sana. Tangan Mas Diran masih mau
menjerlajah. Tangan itu melepaskan vagina Larsih yang telah membasah.
Tangan itu meninggalkan siksa kepada Larsih. Tangan dan jari-jarinya itu
terus memanjati tubuh Larsih. Ke perutnya sesaat, kemudian meluncur ke
buah dadanya yang memang telah setengah terbuka sejak awal tadi.
Kini kenikmatan yang beda kembali
melanda Larsih. Tangan Mas Diran dengan liar meremasi buah dadanya.
Jari-jarinya memelintir puting-puting susunya. Bagaimana mungkin
menghentikan desah dan rintih dari mulutnya,
“Ammpuunn, Maass.. Maass.. Maass.. ‘, hanya itulah kata-kata yang berkali dan berulang disuarakan.
Mas Diran merangsang terjadinya respon
Larsih untuk melumati jari-jarinya. Kini dia juga semakin tahu. Istri
tetanganya ini memang perempuan yang sangat lapar dan haus. Mas Diran
ingin menjawab lapar dan hausnya Larsih itu. Dia biarkan Larsih. Dia
memberikan kesempatan Larsih untuk memuaskan dulu lumatannya atas
jari-jarinya.
Larsih yang kini telah histeris.
Jari-jari dan tangan Mas Diran telah dibuat kuyup oleh bibir, lidah dan
ludahnya. Larsih dengan setengah membungku, juga melatakan lidahnya itu
hingga ke lipatan lengan Mas Diran. Maunya sih lebih jauh lagi.
Tetapi dinding rumah kontrakan itulah
yang mengatur semuanya. Larsih juga membawa tangan dan jari-jari itu
kembali merabai leher dan buah dadanya. Larsih masih ingin buah dadanya
berada dalam cengkeraman tangan kasar itu. Tetapi dari balik dinding,
Mas Diran punya mau ada beda.
“Dik Larsih, Mas nggak tahaann, niihh..,” rintih Mas Diran. Terdengar suaranya agak serak.
“Dik Larsih, Mas nggak tahaann.., niihh..,”
“Dik Larsiihh.., tolong Mas diikk..”.
Rintihan Mas Diran itu semakin memacu
nafsu birahi Larsih. Dia juga tidak tahu harus bagaimana. Masing-masing
tak mungkin saling mengundang atau saling bertandang. Apa kata tetangga
nanti.
Tetapi Larsih sendiri juga semakin
tertekan oleh kehendak syahwatnya. Pada vaginanya sudah dia rasakan ada
cairan yang tak terbendung. Cairan birahinya telah membuat celana
dalamnya basah kuyup. Sementara jari-jari tangan kirinya tak
henti-hentinya memijat dan memilin-milin puting susunya sendiri.
Ternyata diam-diam Mas Diran telah
mengeluarkan melepaskan celana kolornya. Dan kemaluannya yang gede
panjang itu telah lepas keluar melalui tepian celana dalamnya yang
nampak setengah kumal itu. Dan tak bisa dia tahan, tangan kanannya kini
nampak meijat-mijat dan mengelusi kemaluannya itu.
“Dik Larsih, Mas nggak tahaann, niihh..,” kembali rintihan Mas Diran mengiang di telinga Larsih.
“Diikk, aku nggak tahaann..,” sekali lagi rintih serak Mas Diran,
Syahwat birahi Larsih-lah yang kini menjawabnya dalam bisik,
“Gimana dong, mass.. Larsih mesti ngapaiin..? Gimanaa..?,”
“Dd.. Dik Larsih mm.. Mau b. Bantu Mass.., yaa..??,”
“Gimanaa..??,” suara Larsih yang bernada desah dan rintih pula.
Itu bukan suara orang bertanya. Maksud
ucapan itu adalah untuk mendorong tindakan Mas Diran. Terserah Mas
Diran, mau kemana nikmat bersama ini akan dibawa.
Tiba-tiba Mas Diran menuntun tangan
Larsih. Dari balik dinding ini Larsih tidak melihat apa yang telah
terjadi pada Mas Diran. Dia tidak tahu kalau Mas Diran sudah melepasi
celana kolornya. Dan Larsih juga tidak melihat kalau kemaluan Mas Diran
sudah lepas keluar dari celana dalamnya.
Tangannya pasrah mengkuti tuntunan Mas
Diran. Darahnya berdesir dan jantungnya memukul-mukul dadanya. Kemana
tangannya akan dibawa? Larsih menunggu dalam harapan yang cemas..
Tiba-tiba dirasakannya Mas Diran kembali menciumi telapak tangannya. Ah,
hanya itu.., demikian sesaat pikir Larsih sedikit menyiratkan kecewa.
Tetapi tunggu.., ternyata ciuman Mas
Diran ini tak lama. Tangan itu kembali dituntunnya. Mas Diran juga
merubah posisi pegangannya. Dia buka telapak dan jari-jari Larsih untuk
kemudian dengan cepat digenggamkannya kembali. Pada saat itulah Larsih
baru menyadari dan merasakannya.
Sebuah bulatan batang yang panjang dan
hangat kini berada dalam genggamannya. Oohh, ini khan.. Kk.. K..
Kemaluan.. Mas Diran?! Larsih terpekik kecil.
Dia sangat kaget. Dia tidak menduga Mas
Diran akan membawa tangannya untuk menggenggam kemaluannya. Tetapi ada
yang lebih mengejutkan. Dan ini sama sekali tidak pernah dibayangkan
Larsih sebelumnya. Kemaluan Mas Diran ini demikian kerasnya, hangatnya
serta gede dan panjangnya. Larsih setengah tidak percaya akan apa yang
sedang terjadi hingga Mas Diran membantu tangannya meremas-remasi batang
penisnya itu.
“Ayyoo Dik Larsihh.. Bantuin Maass..,”
rintihan penuh iba Mas Diran sambil tangannya menekan-nekan genggaman
tangan Larsih untuk meremas lebih keras kemaluannya.
“Dik Larsih, tolong Diikk.., di
peres-peres gitu, lohh.. Ayoo..,” bisik Mas Diran yang tidak tahu
keadaan Larsih sambil mencontohkan pada tangannya untuk meremasi
penisnya.
Larsih yang masih dalam keadaan ‘shock’
itu belum mampu mencerna apa maunya Mas Diran. Walaupun dia tidak
melepaskan genggamannya tetapi dia belum bisa mendengarkan bisikan dari
balik dinding itu.
“Ayyoo, Dik Larsihh.., bantu mass.., ayo
dipijit-pijit gituu.. Mas gatel banget, niihh..”. Dan akhirnya memang
Larsih tahu. Dan apa mau dikata, rasanya bagi Larsih tak ada yang harus
dipilih.
Memang dia pernah meremas-remas. Tetapi
meremasi kemaluan Tono suaminya berbeda banget dengan apa yang kini
dalam genggamannya. Ditangannya kini ada batang gede, panjang dan
hangat. Dia seakan sedang memegang lontong gede isi oncom yang baru
keluar dari dandangnya.
Dan saat ngaceng seperti ini penis Mas
Diran ini bukan main kerasnya. Batang itu mendenyut-denyutkan uratnya
yang beraliran darah. Denyutnya terasa teratur seperti saat dia memegang
urat nadinya. Sensasi syahwat birahi ini telah membuat Larsih merinding
dan gemetar hebat.
Dia tak lagi kuasa untuk menolak nikmat
macam ini. Dia mulai menggerakkan jari-jarinya. Dan mulailah tangan
cantik dan lembutnya Larsih itu melumat-remasi kemaluan Mas Diran. Kini
Larsih mulai merasakan betapa mantapnya menjamah dan menggenggam penis
gede macam ini.
Dan akhirnya bukan hanya meremas dan
memijit. Larsih juga mengelus dan mengurut-urut kemaluan Mas Diran dari
ujung hingga ke pangkalnya. Larsih juga merabai betapa lebat jembut Mas
Diran itu. Dia rasakan adanya rimba yang tebal pada pangkal kemaluan Mas
Diran. Tangannya menarik dan jambaki gelimang rambut kemaluan itu.
Dia juga mengelusi dan memijit halus
bijih pelir Mas Diran. Jari-jarinya merabai bijih itu dan saat datang
geregetannya dia sedikit memjit sehingga Mas Diran berteriak kecil
merasakan ngilunya.
“Duuhh.. Dikk, teerruuss.. Enak bangeett.. Dik Larsihh..”.
Hati Larsih dirambati semacam perasaan
tersanjung dan puas saat mengetahui Mas Diran menerima kenikmatan
remasan tangannya. Mas Diran mulai maju mundur menggoyang-goyangkan
pantatnya. Dia berharap Larsih mengocoki batangnya pula. Goyangan maju
mundur pantat Mas Diran menandakan dia tak mampu menahan derita
kenikmatan itu.
Kenikmatan remasan tangan Larsih
membuatnya serasa terbang ke awang-awang. Nikmat itu kini mulai mencari
terminal transitnya. Nikmat itu harus ada saat terminalnya sebelum
nyambung ke nikmat berikutnya. Mas Diran merasakan air maninya
mendesak-desak untuk keluar dari saluran penisnya.
“Ach.. Ww.. Uuch.. Aacchh,” terdengar ah uh Mas Diran merasakan desakan nikmatnya.
“Enak ya maass.. Tangan Larsih?? Terus ya Maass?? Mas Diraann.. Larsih juga senaanng sekali bisa memuaskan Maass..”.
“Enak, maass..?,” tanya dalam desah Larsih berulang-ulang.
Tak pelak lagi pantat Mas Diran semakin
tak terkendali maju mundurnya. Rasanya air maninya tak akan mampu
ditahan lagi. Mas Diran kembali menghiba,
“Diikk Larsiihh.. Kencengin dong remasannyaa.. Cepetin.. Kocok-kocookk.. Yang cepeett..,”
“Ayyoo, Ddikk, Mas Diran mau keluarr, nniihh..”.
Dengar ucapan terakhir Mas Diran, Larsih
tanggap. Dan lebih dari itu memang Larsih telah sangat menunggunya. Dia
ingin penis Mas Diran menyemprotkan pejuh-nya. Dia ingin tangannya kena
semprotan air mani Mas Diran yang pasti sangat hangat itu. Larsih juga
ingin menyaksikan betapa air mani Mas Diran akan tumpah sangat banyak
dan kental.
“Yaa.., yaa.., teruss Dik Larsihh..
Enakk bangeett diikk.., Larsiihh, oohh Larsiihh, Larsiihh,” Mas Diran
menyongsong puncak nikmatnya sambil meracau memanggil manggil nama
Larsih. Pantatnya semakin kuat dan cepat maju mundurnya.
Ah.. Akhirnya datanglah..,
Dengan meremasi tangan Larsih dan juga menahan agar tangan itu terus mijat-mijatnya Mas Diran menunggu air maninya tumpah,
“Ampuunn.. Dik Larsihh.. Ampuunn.. Dik Larsiihh, .. Enak banget Dik Larsihh..”.
Diawali dengan meregang-regang sesaat penis Mas Diran menyemprotkan sperma dengan kerasnya.
Genggaman tangan Larsih merasakan sebuah kedutan yang sangat keras. Urat
besar penis Mas Diran mengedut dan memompa keluar muncrat cairan putih
kental. Air mani Mas Diran deras terpompa keluar. Mungkin ada sekitar 8
atau sembilan kedutan besar yang memompa dan memuncratkan cairan putih
kental itu.
Tangan Larsih merasakan cairan hangat
berlumuran pada sekujur lengannya. Telapak tangannya merasakan ada
pelumas hangat kental yang memperlicin genggamannya. Air mani Mas Diran
telah berlelehan pada tangan dan lengan Larsih.
Untuk sementara Mas Diran merasakan
kelegaan yang sangat mendalam. Kehausan syahwatnya telah mendapatkan
saluran keluar dengan muncratnya spermanya. Kini dia membiarkan saat
tangan Larsih mengendorkan dan melepaskan remasan pada kemaluannya.
Mungkin Larsih ingin menyaksikan sperma yang berlumuran di tangannya.
Hingga sore hari tak ada bisikkan antar dinding yang terdengar. Mas Diran tergolek lemas di ranjangnya. Dia langsung tertidur.
Malam itu, sebagaimana malam-malam yang
lain Tono makan bersama istrinya. Secangkir kopi dan sepiring pisang
goreng telah melengkapi kegiatan makan malam mereka. Sesekali tanpa
sepengetahuan suaminya, Larsih melirik ke lubang nikmat di dinding itu.
Hatinya berdesir saat mengingat betapa lewat lubang itu tangannya telah
menggenggam dan meremasi penis Mas Diran yang gede, keras dan hangat
milik Mas Diran.
Sepanjang malam itu Larsih tak bisa
nyenyak tidurnya. Dia masih menyimpan obsesi birahinya. Keasyikan
ber-asyik masyuk dengan Mas Diran tadi siang belum memberikan akhir
nikmat yang tuntas. Memang dia merasa cukup puas saat mendengar
bagaimana Mas Diran mendesah dan merintih karena remasan serta
lumatan-lumatan tangannya.
Larsih nampak gelisah dalam tidurnya.
Obsesi birahinya sempat terbawa dalam mimpi. Dia melihat Mas Diran
sedang menyetubuhi istrinya Murni. Dia menyaksikan betapa Murni menjerit
nikmat saat kemaluan Mas Diran yang gede panjang itu menusuki
vaginanya.
Dilihatnya suaminya begitu lelap
tidurnya. Mungkin karena bekerja seharian, Tono langsung tertidur begitu
selesai makan malam tadi. Begitulah yang sering ditemui Larsih dalam
kehidupan suami istrinya.
Hingga pagi hari, praktis Larsih tak
bisa benar-benar memejamkan matanya. Ingatan akan peristiwa yang terjadi
bersama Mas Diran kemarin siang benar-benar membuatnya menyimpan dendam
syahwat yang memerlukan saluran keluar.
Mungkinkah dia meniru Murni seperti
dalam mimpinya? Mungkinkah dia nungging di depan lubang itu dan Mas
Diran mau menusukkan kemaluannya dari sebelah dinding yang lain? Cukup
lebarkan lubang itu untuk kemaluan Mas Diran? Bisakah hal itu terjadi
padanya?
“Ahh.. Bagaimana aku mesti menyampaikan keinginanku ini pada Mas Diran?,” demikian pikir Larsih. Ah, bagaimana nanti sajalah.
Dari ranjangnya Larsih sempat mengamati
lubang di dinding itu. Sesudah menemani suaminya sarapan pagi dan
kemudian melepaskannya untuk berangkat kerja Larsih kembali menyibukkan
dirinya membereskan rumahnya. Saat menyapu di depan, dia sempat
menyaksikan Murni istri Mas Diran berangkat kerja pula. Pada kesempatan
itu Mas Diran yang melepas istrinya mengedipkan matanya. Itulah bahasa
teguran di pagi hari yang langsung membuat hati Larsih berdesir.
“Dik Larsihh..,” panggil Mas Diran dalam bisikkan dari sebelah dinding.
“Mas kangen banget niihh..,” sambungnya.
“Mas nggak bisa tidur semalaman. Mas pengin menyentuh Dik Larsih seperti kemarin itu”.
“Sama Mas, aku juga nggak bisa tidur.. Aku mimpi Mas Diran bermesraan dengan Mbak Murni, loh”.
“Asyik banget. Sampai Mbak Murni jerit-jerit karena kenikmatan,” cerita Larsih tentang mimpinya.
“Ah, masa sih. Tapi Dik Larsih nggak marah toh?,” goda Mas Diran.
“Ya, nggak toh. Khan sama istrinya sendiri,” begitu goda balik Larsih.
Tiba-tiba dilihatnya Mas Diran
memberikan kejutan. Tangan kirinya berhasil menguak lebih lebar lubang
dinding itu dengan cara melipat triplek itu ke samping hingga tangan
kanannya kini lebih leluasa untuk bergerak. Lubang itu menganga
kira-kira selebar ubin 20 X 20 cm.
Tetapi dengan adanya lubang itu untuk
sementara telah cukup membuat situasi dan hubungan menjadi lebih
berkembang. Tanpa saling berkesepakatan Larsih dan Mas Diran langsung
melongok ke lubang. Mereka bisa saling pandang. Dalam pandangan penuh
kehausan kedua insan saling mengamati wajah lawannya. Mereka saling
menyentuh dan berciuman.
Ah.. Betapa kalau dua pasang bibir yang
penuh dendam birahi berjumpa. Saling sedot dan lumat lidah untuk
menghapus dahaga. Setiap bibirnya serasa ingin meneguk sebanyak-banyak
ludah pasangannya.
Mas Diranlah yang memulai melepas
pagutan. Dia sedikit undur dari lubang nikmat itu. Dia susulkan tangan
kanannya menerobos dinding. Mas Diran mengulang kenikmatan kemarin.
Kembali meremasi buah dada Larsih.
Larsih sedikit merana karena lepasnya
bibir Mas Diran tetapi dia tidak protes. Dia kini menyambut tangan Mas
Diran pada susunya. Dia juga ingin kembali merasakan apa yang telah dia
dapatkan kemarin. Dia ingin rasakan kembali remasan tangan tangan Mas
Diran pada bagian-bagian peka pada tubuhnya. Dia bahkan menuntun tangan
Mas Diran untuk menyentuhi puting susunya.
“Aduuhh.., maass.. Aku nggak tahan mass.. E.. Ee.. Nak bangett, maass.., amppuun..”.
“Dik Larsih, Mas pengin menjilati susu Dik Larsih..”.
“Mas pengin menggigit-gigit pentil ini diikk..,” demikian erang dan rintih Mas Diran yang berkesinambungan.
Larsih sangat tersanjung dan nikmat
mendengar suara Mas Diran itu. Gelora nafsunya terbakar hebat. Rasa haus
yang sangat tiba-tiba menyerang tenggorokkan Larsih,
“Aku haus, Maass.., akuu hauss.., Mas Diran..,”
Seperti mengalir begitu saja, tiba-tiba Mas Diran ingin bangun berdiri. Dia seakan tahu apa yang diinginkan Larsih.
“Aacch, Maass.., Mass, toloong, Mas Diraann.., aku hauuss bangeett
Maass..,” Larsih merana seperti hendak menangis sambil mengasongkan
wajah dan bibirnya ke arah lubang nikmat itu. Tidak lama, tiba-tiba
tangis dan iba Larsih mendapatkan sentuhan. Jari-jari kasar Mas Diran
kembali menyentuh hendak meruyak bibirnya. Bibir haus Larsih langsung
mencaploknya. Tetapi kenapa jari-jari ini jadi cepat membengkak?
Dengan sedikit heran Larsih mundur
sesaat dari celah nikmat itu. Dia kaget saat mengetahui apa yang barusan
dicaploknya. Sebuah batang dengan ujung berbentuk bongkahan licin
mengkilat dan berwarna merah kecoklatan. Dan.. Larsih langsung tahu
bahwa itu adalah kemaluan Mas Diran. Edaann..
Larsih tidak menduga kalau Mas Diran
akan mengasongkan penisnya untuk dia kulum ke mulutnya. Tetapi itulah
rupanya yang Mas Diran inginkan.
“Iseplah Dik Larsih.., aku pengin banget Dik Larsih mengisep inii.., ayyoo, dikk, Mas pengin merasakan mulut Dik Larsih..,”
Larsih masih terbengong saat Mas Diran kembali mengasong-asongkan kemaluannya dan minta agar Larsih mengulum dan mengisepnya,
“Ayyoo, Dik Larsih.., Mas pengin Dik Larsih menciumi dan menjilati inii.., ayoo, diikk..”.
Bisik rintih dari balik dinding yang
berulang-ulang diperdengarkan oleh Mas Diran. Ah, bagi tangannya batang
ini tak begitu asing. Bukankah kemarin siang Larsih telah mengurut-urut
dan mengocokinya hingga cairan kentalnya tumpah.
Tetapi kini, oohh, .. Lihatlah, dengan
matanya betapa Larsih bisa melihat urat-urat kasar melingkar-lingkar di
sekujur batang itu. Dan lihatlah betapa kencang dan mengkilat kepalanya
karena mendendam birahi.
Dan.. Genjotlah maju mundur penismu ke
dalam mulutku. Goyangkan pantatmu, Mas Diran. Begitulah racau batin
Larsih yang mengalir berkesinambungan. Larsih semakin lupa diri. Sambil
jari dan tangannya memilin-milin dan memijit batang kemaluan itu,
mulutnya yang kini terisi penuh oleh ujung penis yang gede dan
berkilatan itu nampak bergerak memompa. Larsih melakukannya dengan merem
melek.
Kemudian ganti, lidahnya bergerak
menjilat dari pangkal batangnya hingg ujung lubang kencing kemudian
dengan bibirnya yang mengecup-ecup. Dia merasa seperti terbang ke awang
nikmat yang tak bertara. Larsih menemukan dambaan dan obsesinya. Larsih
larut dalam prahara nafsu seksualnya.
Jangan tanyakan bagaimana Mas Diran
dilanda gamang syahwat dari celah dinding rumah kontrakannya yang
disebabkan isepan mulut mungil Larsih itu. Jangan tanyakan bagaimana Mas
Diran langsung terlempar ke pucuk-pucuk kepuasan libidonya. Jangan
tanyakan betapa Mas Diran merasa mendapatkan jawaban atas keresahan dan
impian erotisnya pada Larsih selama ini.
Dan walaupun ada dinding pembatas,
tetapi kini Larsih impiannya itu ada di depannya. Larsih, istri
tetangganya yang meresahkan syahwatnya selama ini sedang meciumi,
menjilati dan mengulum penisnya. Dan itu tak seberapa lama..
“Dik Larsih.., a.. Ak.. Kku.. Mm.. Mauu.. Keluaarr.., niihh. Booleehh..”.
“Ayyoo, Mass.., inilah yang kutunggu..,” demikian suara batin Larsih.
“Bantuin Dik. Tolong sambil dikocok-kocok.., tolong Dik Larsihh..”.
Kemudian serta merta Larsih meningkatkan
rangsangannya pada kemaluan Mas Diran. Tangannya mengocok dan menguruti
batangnya sambil ditusuk-tusukkannya ujung ludahnya pada lubang kencing
kemaluan itu. Kemudian disapunya kepala yang mengkilat itu dengan
lidahnya hingga menyentuh seputaran lehernya.
“Aacchh.., Dik Larssihh.. Dik Larsihh.. Keluaarr..,” teriakan penuh nikmat dari mulut Mas Diran.
Larsih merasakan seperti kemarin.
Bedanya, kalau kemarin tangan kanannyalah yang merasakan kedutan besar
penis ini, kini rongga mulutnyalah yang menanggung kedutan itu. Beda
yang lain adalah, kalau kemarin sperma Mas Diran tumpah terserak ke
segala arah, termasuk melumuri tangannya, maka kini sebagian besar
kedutan-kedutan itu untuk memompa air mani yang akan muncrat dalam
rongga mulut Larsih. Dan selebihnya yang dibiarkan lepas jatuh ke lengan
dan tangannya, Larsih ingin kembali melulur wajah dan tubuhnya dengan
air mani itu. Untuk awet muda, katanya.
Baca Juga : Cerita Sex Tante Sekdes Yang Mempunyai Hasrat Seks Yang Kuat
Mas Diran langsung rubuh terpuruk.
Spermanya yang nyemprot keluar demikian banyaknya. Tenaga Mas Diran
tersedot habis. Kini dia terbaring telanjang di ranjangnya sambil
menariki satu-satu nafas panjangnya.
Dia tidak pernah menyangka bahwa Larsih
istri tetangganya itu akan minum atau makan spermanya. Selama ini dengan
Murni sekalipun, Mas Diran tak pernah mau menyuruh menjilati
kemaluannya. Apalagi menampung sperma di mulut macam Larsih ini.
Tetapi Larsih ini memang terlampau
‘panas’. Dia bukan sebagaimana perempuan biasa lainnya. Larsih ini
termasuk perempuan luar biasa. Benar juga kata orang, perempuan yang
tampilannya macam Larsih ini akan sangat kuat dan liar saat bermain di
ranjang. Perempuan yang tidak mudah dipuaskan.
Pada malam harinya kembali sebagaimana biasanya, Larsih menemani suaminya Tono saat makan malam.
Secangkir kopi, kesukaan suaminya dan sepiring kacang rebus menyertai
mereka bercengkerama di depan tevisi-nya. Larsih menyandarkan kepalanya
pada bahu Tono. Nampak seakan tak ada hal yang serius dalam kehidupan
mereka, khususnya sepanjang hari itu.
Tono tidak melihat hal-hal yang aneh di
rumah tangganya. Larsih mencoba mengamati lubang yang kini bisa terkuak
lebih lebar itu. Tak ada hal yang mengkhawatirkan. Sesaat hatinya
berdesir ketika ingat apa yang telah berlangsung melalui lubang itu di
siang hari tadi.
Pada pagi hari esoknya, hal-hal rutin
kembali berjalan. Larsih mengantarkan hingga ke pintu depan saat melepas
suaminya berangkat kerja. Demikian pula Mas Diran, melepas Murni sambil
menutup pagar halamannya.
Ketika mereka perhitungkan Tono maupun
Murni sudah cukup jauh dari rumah, kembali mereka bergegas menuju ke
lubang dinding. Dialog yang menembus dinding antara Larsih dan Mas
Diranpun dimulai.
“Dik Larsiihh.., Mas kangen banget nihh..,”
“Mana pipi indahmu?? Mana bibir indahmu??,” rayuan Mas Diran mengalir.
“Mass.., lubangnya bisa lebih gede lagi, nggak, siihh..,”
“Aku pengin lebih lebar lagi. Jadinya kita bisa puaass.. Banget,” rajuk Larsih pada Mas Diran.
Mas Diran tahu, itu adalah isyarat
hausnya syahwat Larsih. Mas Diran tahu, dengan lubang yang lebih lebar
hubungan antar kelamin bisa dilakukan lebih maksimal. Dia juga
menginginkan hal yang sama. Mas Diran mencoba mengamati dinding itu.
“Sana Dik Larsih bikin kopi dulu buat
Mas, nanti aku cari akal supaya lubang ini lebih leluasa tanpa kelihatan
oleh orang,” Mas Diran sudah terbiasa menyuruh Larsih. Entah yang bikin
kopi, atau nggoreng nasi, atau bikin sambel kecap dan sebagainya.
Kemudian dia mencari peralatan di kotak
raknya. Dia patahkan lembaran dinding itu lebih ke kanan, tanpa
membuatnya lepas dari ikatannya. Dia tempelkan sedikit kertas dengan
lemnya sehingga bisa berfungsi seperti engsel pintu. Dia tunjukkan pada
Larsih patahan itu dan kemudian membuka lubangnya. Wwoo.., ini mah macam
pintu saja, demikian surprise yang dirasakan oleh Larsih.
Sebuah lubang dinding selebar kurang
lebih berukuran lebar 40 cm dan tinggi 30 cm dengan mudah dibuka maupun
ditutup tanpa kelihatan menyolok oleh siapapun. Tetapi mereka sepakat,
setiap sore akan menutup dengan tempelan koran untuk menghilangkan jejak
sama sekali. Memang jadi sedikit repot, tetapi biarlah, yang penting
aman.
“Sini, Dik.. Aku mau sun ini, ya..,” dia
raih pinggul Larsih untuk didekatkan ke depannya. Kemudian wajahnya
berusaha melekat ke selangkangan istri tetangganya itu.
Larsih tertawa tertahan karena kegelian.
Dia menggelinjang. Tetapi Mas Diran tidak berhenti disitu. Kini
tangannya bisa meraih dan melepasi kancing-kancing ‘hot pant’ Larsih.
Dan ditariknya turun ‘hot pant’ itu hingga tinggal celana dalamnya saja
yang tinggal. Mas Diran langsung kembali melekatkan wajahnya ke celana
dalam itu. Dia mencoba mengendusi vagina Larsih.
“Duuhh.. Mmaass.. Maass..”.
Mas Diran belum puas juga. Ditariknya hingga celana dalam itu hingga lepas dari tempatnya.
Kini nampak vagina Larsih yang diselimuti bulu-bulu lembut itu. Kembali
diraihnya pinggul Larsih. Dan dibenamkannya wajahnya ke selangkangannya.
Kini lidahnya menjulur untuk menjilat-jilat.
Larsih merasakan jilatan Mas Diran pada
kemaluannya. Dia tidak pernah membayangkan Mas Diran mau dan rela
menjilati vaginanya yang tentu bau pesing itu. Sekali lagi dia sangat
tersanjung. Suaminya, Tono tak pernah mau melakukan itu.
“Mas Diran, Mas Diran, Mas Diran.. Ampuunn.. Larsih nggak bias tahaann.. Aammppuunn..”.
Tak ada ampun lagi. Larsih cepat
melakukan perubahan posisi. Dia tarik lepaskan jari Mas Diran dan
kemudian dengan kedua tangannya dia menggeret meja makan untuk
dipepetkan ke lubang dinding itu,
“Mas Diran, aku pengin banget merasakan
yang lebih gede.. Aku pengin penis Mas Diran menusuki vaginaku. Ayyoo,
maass..,” Larsih tak mampu memilih kata-kata lagi. Keinginannya dia
lontarkan secara vulgar kepada Mas Diran sambil dia naik dan kemudian
telentang ke meja makan itu.
Dia mengangkat kedua kakinya sambil
menghadapkan vagina dan pantatnya tepat pada arah lubang dinding itu.
Dia melipat kakinya hingga pahanya menyentuh dada. Dari balik lubang
dinding, kini Mas Diran menyaksikan citra 3 dimensi melalui lubang
ukuran 40 cm X 30 cm. Citra 3 dimensi itu adalah vagina Larsih yang
muncul dengan mulus dan sangat menantang sanubari dan birahinya. Vagina
itu nampak basah. Tetapi walau basah rupanya tak mampu untuk menutupi
hausnya tusukkan penisnya. Vagina Larsih yang tampak macam ini sangat
membakar syahwat Mas Diran. Dan inilah puncak dari usahanya.
Larsih yang istri tetangganya itu kini
telah benar-benar menyerahkan kekayaannya yang paling rahasia. Larsih
kini benar-benar menyerahkan kehormatannya padanya. Larsih telah
menyerahkan vaginanya untuk memuaskan penisnya. Dengan penuh
pengendalian tempo dan perasaannya, Mas Diran mendekatkan bibirnya.
Mas Diran melumati kemaluan Larsih. Dia
mencium dan menjilat kemaluan yang menantangnya itu, seperti saat dia
sedang mencium dan melumati bibirnya. Bibir vaginanya dia rasakan
seperti bibirnya. Klitorisnya menjadi lidahnya. Dan cairan birahi yang
mengalir deras itu dia anggap ludahnya. Dia lahap semua dengan penuh
kerakusannya.
Larsih histeris. Larsih tak berdaya.
“Ampunn, Mass.., ampuunn.., ayoolahh Mass.. Cepat masukiinn.., ampunn..”.
Tangisan itu belum juga menyentuh hati
Mas Diran. Tetapi keindahan sensual yang memancarkan nafsu syahwat luar
biasa dari vagina Larsih ini sangat sayang untuk dilewatkan. Bibir dan
lidahnya masih menikmati pancaran sensual itu.
Bahkan lidahnya kini berusaha menembusi
lubang sempit vagina Larsih. Lubang yang menebar aroma vagina dari
seorang perempuan yang istri tetangganya itu. Tangisan Larsih justru
menambah semangat birahinya untuk melanjutkan jilatan dan sedotannya.
“Amppuunn, Mass.., Larsih bisa jantungan
Maass.., masukin Maass.. Aku mau penismu Mas Diran.., mana penismu..
Mana penismuu..??,” Larsih sudah semakin tak mampu lagi menahan
kata-kata vulgarnya. Dia benar-benar telah berada di ambang kritis yang
harus diatasi oleh Mas Diran.
Kepala penis Mas Diran terasa mulai
menekan. Bibir vagina atau gerbang vaginanya yang sudah demikian menanti
seakan kini menjual mahal. Bibir itu tidak demikian saja mengijinkan
penis Mas Diran masuk. Bibir itu seakan merapatkan barisan untuk menahan
serbuan penis.
Bibir itu merapat dan membuat lubang
vagina menyempit. Itulah kenikmatan luar biasa yang mengawali penetrasi
seorang Mas Diran ke vagina Lastri istri tetangganya yang binal ini.
Berkali-kali tonjokkan penis itu dilakukan. Gerbang vagina memberikan
ruang hingga kepala penis Mas Diran melesak masuk hingga batas lehernya.
Bagi Mas Diran hal ini sudah sangat
cukup. Upaya berikutnya tak terlampau sulit. Dikocok-kocokkannya kepala
penisnya pada ruang sempit itu hingga cairan birahi Larsih tak lagi
terbendung.
Dari balik dinding Larsih seperti
kemasukan setan. Tangan-tangannya yang terus membetoti susunya dan
menarik-nark serta memilin puting-putingnya kini disertai kepalanya yang
terus bergoyang kekanan dan kekiri. Goyangan kepalanya itu demikian
histeris hingga rambut-rambutnya awut-awutan terlempar sana-sini.
Tonjokkan penis Mas Diran telah membuat
Larsih sama sekali kehilangan kontrol diri. Dia tak mampu lagi
membendung banjirnya cairan pelumas pada bibir vaginanya. Dia kini
merasakan betapa senti demi senti batang kemaluan Mas Diran menembus
gerbang vaginanya.
Dia kini merasakan betapa
dinding-dinding vaginanya mulai mencengkeram dan menghambat setiap senti
batang penis Mas Diran untuk bergerak maju menembus lubangnya. Larsih
merasakan betapa cengkeraman dinding vaginanya itu membuahkan nikmat
syahwat yang tak terhingga. Saraf-saraf peka yang menebar di seluruh
permukaan dinding itu melakukan interaktif dan menjemput nikmat dengan
remasan-remasannya.
Tetapi semua itu hanyalah sebuah ‘awal’
atau ‘pembukaan’. Penis Mas Diran akan terus bergerak maju. Dan vagina
Larsih akan terus menghisap masuk bak rahang ular piton yang menelan
mangsanya dan tak mungkin melepaskannya. Pantat Larsih menggoyang untuk
menjemput dan melahap ‘mangsa’-nya itu.
Kini kembali Mas Diran membuat
kemaluannya diam tanpa gerak dalam kepadatan ruang vagina Larsih. Ujung
penisnya merasakan dinding batas. Itulah dinding rahim Larsih. Kemudian
vagina Larsih itu dengan cepat mengempot-empot meremasi batang penisnya.
Larsih kembali lagi mengoyang-goyang pantatnya. Dia dilanda rasa gatal
yang sangat. Dia ingin penis Mas Diran mulai menarik dan mendorong. Dia
ingin merasakan pompaannya kemaluan gede dan panjang milik Mas Diran
itu. Dia ingin merasakan gosokan atau gesekan batang penis dengan
dinding-dinding lubang vaginanya.
Dan terjadilah. Mas Diran mulai pelan menarik. Hanya setengahnya. Kemudian kembali mendorong hingga mentok ke dinding rahim.
Kemudian diulanginya route itu
berkali-kali. Setiap kali Mas Diran menambah kecepatan. Dan pada setiap
tusukkan maupun tarikan desah dan rintih Larsih menyertai dengan penuh
iba derita nikmat.
Dan saat penis Mas Diran mulai memompa dengan ritmis dan tempo yang
semakin sering, kedua orang itu saling memperdengarkan desahan dan
nafas-nafasnya yang memburu.
Dan saat pompaan semakin sering dan
cepat yang mengakibatkan meja makan Larsih berderit-derit, serta dinding
penuh syahwat pembatas kamar mereka berderak-derak, mulut Larsih dan
Mas Diran memperdengarkan suara konser desah dan rintih penuh irama.
Jangan tanya lagi tentang racauan. Semua kata-kata vulgar tumpah
berserakan mengalir dari kedua mulut yang asyik masyuk itu.
Saat Mas Diran merasakan betapa air
maninya tak mungkin bisa terbendung, dan kini tengah merambati
saraf-saraf disekitar kemaluannya untuk muncrat, dia menengadahkan
wajahnya ke langit-langit. Dia memusatkan seluruh dirinya untuk
menyambut muncratnya spermanya. Dia merasakan betapa nikmat dan legitnya
vagina Larsih yang kini sedang dalam pompaannya.
LarsihPun menghadapi kenyataan yang
sama. Kerinduan berbulan-bulan yang ditanggungnya, kemudian pula
limpahan birahi tak tertahankan selama hari-hari terakhir ini menggiring
dirinya untuk menapaki orgasme yang memang jarang dia dapatkan. Dia
merasakan sebuah sensasi erotik yang luar biasa saat penis Mas Diran
merasuki ruang sempit lubang vaginanya.
Larsih ingin air mani Mas Diran nyemprot
di dalam vaginanya. Larsih merindukan sperma yang panas melaburi
dinding vaginanya. Larsih menginginkan Mas Diran melampiaskan dendam
birahinya dalam sekapan lubang vaginanya dan menyirami dinding rahimnya.
Mas Diran merasakan saat puncak itu tak jauh lagi. Dia merasakan betapa
air maninya mengaliri dan merambati otot-ototnya menuju pintu akhir
untuk tumpah. Ahch, aacch.., akhirnya..
Sementara Larsih menerima apa yang
berlangsung dengan tampilan lebih histeris. Orgasmenya sendiri ternyata
hadir membarengi semprotan air mani Mas Diran. Kedutan penis Mas Diran
dalam kemaluannya disambut dengan semprotan hangat cairan birahinya.
Betotan tangannya pada buah dadanya mengencang seakan hendak mencopot
susunya dari tempatnya.
Bibirnya menggigit bibirnya sendiri
hingga terluka dan mengalirkan darah kecil. Pantatnya berputar-putar
seakan ingin menelan seluruh kemaluan gede Mas Diran itu. Cairan birahi
Larsih terus bertumpahan. Dia mengalami apa yang sering orang sebut
sebagai ‘orgasme beruntun’. Setiap tusukkan kemaluan Mas Diran disertai
pula dengan muncratnya cairan birahi Larsih. Setiap kedutan pompa sperma
Mas Diran dia timpali dengan erang dan rintih nikmat orgasmenya.
Mungkin Mas Diran menyemprotkan 6 atau 7 kali air maninya. Dan sebanyak
itu pula Larsih mengalami orgsame beruntunnya.
Dan..
Mereka langsung jatuh tersungkur begitu segalanya usai. Tubuh Larsih
merosot lunglai kelantainya. Mas Diran telentang di lantainya pula.
Keduanya hanya memperdengarkan nafas-nafas berat dan panjangnya sambil
keringatnya yang mengucur deras untuk menyalurkan kelelahan yang tak
terhingga. Nampak lubang di dinding itu menggapai-gapai kena angin dari
jendela. Serpihan kertasnya yang hampir lepas melambai.
Lubang, jendela dan serpihan kertas
rumah kontrakan itu menjadi saksi betapa Mas Diran dan Larsih telah
bersama-sama merengkuh nikmat syahwat yang paling nikmat sepanjang
pengalaman mereka.
Larsih masih merasakan apa yang baru
saja usai. Penis Mas Diran yang demikian sesak masih meninggalkan pedih.
Tetapi bukannya sesal. Dia masih ingin bangkit untuk kembali merasakan
kenikmatan luar biasa itu. Kenikmatan syahwat yang belum pernah dia
alami sebelumnya itu.
Beberapa saat kemudian..
Larsih mengajak Mas Diran makan. Dia telah menyimpan makanan untuk makan
siang berdua. Larsih telah memasak untuk suaminya yang bisa disimpan
beberapa hari. Melalui lubang itu Mas Diran bersama Larsih saling
bersuapan. Terkadang Larsih mengigit sepotong makanan untuk disuapkan ke
gigitan Mas Diran.
Mereka juga melaksanakan makan siang
bersama dari lubang syahwat yang sama. Hari itu mereka mengulangi
kenikmatan-kenikmatan yang pernah diraihnya. Mereka melakukan berbagai
macam jalan nikmat yang pernah meraka lakukan melalui lubang dinding
itu. Mas Diran sempat memuncratkan air maninya hingga 4 kali sampai
dekat ke jam 5 sore hari itu. Sementara Larsih sudah tahu bagaimana
mendapatkan ‘orgasme beruntun’.
Hal itu kemudian berulang pula pada
setiap 2 minggu berikutnya. Lubang kenikmatan itu mereka rawat dengan
baik hingga tak seorangpun, baik itu Tono suami Larsih maupun Murni
istri Mas Diran mencurigainya. Keadaan itu terhenti saat ada peristiwa
baru. Peristiwa yang menunjukkan betapa bumi dan kehidupan di atasnya
terus berputar.
Karena prestasi kerjanya Tono ditunjuk
menjadi kepala cabang kantor angkutannya di Sampang, Madura. Dalam tempo
1 minggu keluarga Tono dan Larsih sudah menempati rumah baru di
Sampang. Sebuah rumah batu, lengkap dengan perabotan, kamar mandi
sendiri dan kendaraan kijang bekerja. Pada saat liburan pasangan Tono
dan Larsih sering berekreasi meninjau kota-kota atau tempat-tempat
bersejarah yang banyak tersebar di pulau Madura.
Dengan cepat Larsih menyesuaikan
keadaan. Dia kini menjadi lebih matang. Dia mulai tahu bahwa kenikmatan
bisa diraih dalam berbagai cara. Bahkan dia sering menuntun Tono
menapaki kepuasan ranjang pengantin mereka.
Setahun setelah tinggal di Madura,
pasangan Tono dan Larsih dikaruniai anak perempuan yang secantik ibunya.
Tono ingin anaknya nanti bisa meneruskan sekolah bapaknya hingga
mencapai sarjana.
Akan halnya Mas Diran. Dia kini diangkat
menjadi pegawai administrasi dan koordinator keamanan gudang tempat dia
bekerja. Mas Diran tidak perlu lagi kerja malam. Dari kantornya Mas
Diran diberi kesempatan untuk mendapatkan rumah yang layak dengan kredit
lunak dari bank.
Sejak itu Mas Diran dan Murni selalu
bisa menonton TV bersama, makan malam bersama dan berlibur bersama dalam
suasana keluarga yang lengkap, utuh dan penuh kegembiraan.
Akhirnya Murni hamil. Seorang bayi
lelaki yang kuat dan tampan telah lahir untuk pasangan Mas Diran dan
Murni. Mas Diran tidak ingin mewarisi tugas bapanya yang hanya Satpam
itu. Dia ingin anaknya nanti bisa jadi Caleg dari partai favoritnya.
Terimakasi bagi kaum lendir yang sudah baca dan kaum sange semonga bermanfaat bagi kehidupan sehari2...
CAYOOOO GANBATEEEEE.....